Selasa, 31 Agustus 2010

Perantau dan Taruhan Gengsi


Masyarakat Gili Genting umumnya memeluk agama islam. Hampir 70 persen penduduknya merantau ke berbagai daerah. Hanya saja mayoritas tempat mereka mengadu nasib adalah Jakarta.

Pada tahun 1970 atau 1980-an, yang merantau hanyalah kaum lelaki. Sedangkan kaum wanitanya berada di Gili Genting untuk mengurus keluarganya. Kala itu yang menjadi mata pencahariannya adalah berlayar, baik ke Kalimantan maupun Sumatera.

Namun beriring waktu, tahun 1990-an sudah mulai banyak berhenti dari aktivitas pelayarannya dan menetap di darat. Perlahan dan pasti, mereka membuka usaha toko kelontongan atau istilah mereka adalah warungan baik tempat menyewa maupun milik sendiri. Nah untuk usaha seperti ini, bukan hanya kaum lelaki, keluarganya pun ikut merantau. Maka sejak itulah terus berkembang hingga sekarang dan menjadikan warungan tersebut sebagai mata pencaharian masyarakat Gili Genting.

Bahkan ketika berhasil banyak yang memiliki tempat tinggal sendiri dan jarang pulang. Karena hampir seluruh keluarganya diboyong dan anaknya disekolahkan di Jakarta. Oleh karena itu, sejak tahun 2000-an volume pulang kampung pada bulan Ramadhan - yang tahun-tahun sebelumnya menjadi tradisi - mulai berkurang dan mereka sudah terbiasa tidak merayakan lebaran di kampung halamannya.

Yang membuat prihatin kalangan terdidik Gili Genting, justru kini masyarakat perantau mengalami penyakit gengsi. Dalam artian, orang yang merantau terutama ke Jakarta menganggap dirinya adalah lebih tinggi baik dari sisi ekonomi maupun penampilan. Tak heran sebagian mereka bila pulang kampung menampakkan dirinya hebat, modis dan royal. Padahal kesehariannya di kota rantau mereka berpeluh kuning untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang dijadikan mata pencahariannya, yaitu jualan bahan sembako.

Karena bertaruh gengsi, yang dilakukan masyarakat Gili Genting adalah bagaimana menunjukkan sesuatu yang wah. Ambil contoh pesta perkawinan. Orang yang bekerja di Jakarta, biasanya berusaha melakukan hajatan sacral anak atau dirinya semeriah mungkin tanpa memperhatikan efek setelahnya. Dalam artian, mayoritas mereka menginginkan kemeriahan sementara ada sebagian kemapuannya pas-pasan. Tapi apa boleh buat bila gengsi sudah merasuki jiwanya sehingga berhutang pun tak jadi masalah – yang penting meriah. Inilah problem yang menjadi keresahan bagi warga Gili Genting terdidik yang mengedepankan logika.

Pola diatas itu sudah menjadi tradisi yang sulit tampaknya untuk kita hanguskan. Namun kami berharap hal itu perlahan seiring mulai banyaknya kaum terdidik, apalagi sudah mulai menyembul dari masyarakat kita tentang kesadaran pentingnya pendidikan yang hingga didukung ke perguruan tinggi, semoga bisa merubah cara pandang tradisional yang manfaatnya lebih tinggi daripada mudaratnya tersebut tentu seiring waktu berjalan.

Namun kita patut bersyukur belakangan ini masyarakat giligenting mulai berubah pola pikirnya masyarakat giligenting mulai sadar, mulai merubah sedikit demi sedikit dan mulai membuang rasa gengsi itu. Terbukti yang biasanya berusaha melakukan hajatan semeriah mungkin sekarang di ganti dengan acara acara yang mengandung manfaat salah satu contoh dengan mengadakan ceramah agama untuk memeriahkan pesta perkawinan tersbut.
dikutip dari giligenting.co.cc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda Adalah Bentuk Kepedulian Terhadap Kami....
Terima Kasih

GILIGENTING POLO RADDIN

Silahkan Baca Juga