Sabtu, 18 Juli 2009

TRADISI MANTENAN DI GILIGENTING


Tradisi mantenan (perkawinan) telah ada sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai masa masa selanjutnya. Hal ini tak akan pernah pudar selagi bumi masih berputar dan manusia terus lahir laki laki dan perempuan, bisa di bilang kisah dalam sejarah mantenan telah teraplikasi dari para leluhur kita adam dan hawa. Mantenan atau dalam bahasa masyarakat giligenting (ghabay) entah itu dilaksanakan secara sederhana maupun secara mewah mewahan (ghabay raje) tradisi seperti ini sudah lazim terjadi di perkotaan maupun di desa desa pedalaman, tradisi mantenan ini khususnya bagi masyarakat giligenting di jadikan sebagai momen untung untungan, tidak beda halnya dengan sebuah arisan, yang tak lain sama halnya untuk memperoleh nilai materi semata. kata orang giligenting 'mangantane ana' seolah olah anak di jadikan kedok untuk mendapatkan tambahan materi,padahal inti dari sebuah mantenan adalah mengharap doa dan barokah atas kelangsungan perkawinan mempelai berdua. namun kenyataanya cara pandang masyarakat berubah dengan memprioritaskan penarikan penarikan dari para undangan yang berupa materi, barang, atau jasa. (otang tengka) dan lagi tradisi mantenan yang terjadi masyarakat giligenting acara mantenan kerap kali membuat masyarakat giligenting panik dan trouma karena acara mantenan kerap kali di laksanakan di bulan syawal. karena menurut mereka khususnya bagi masyarakat yg merantau, pada bulan syawal adalah bulan berkumpulnya masyarakat giligenting, setelah setahun lamanya menetap di perantauan di saat hari raya idul fitri tiba masyarakat giligenting berbondong bondong untuk pulang kampung,dari situlah sehingga menurut mereka bulan syawal adalah bulan yang sangat tepat untuk mangantani ana', tapi bagi masyarakat kecil yang khususnya menetap di giligenting yang provesinya hanya sebagai petani, ini merupakan suatu beban yang sangat menghimpit mereka. bayangkan saja setiap bulan syawal kadang kadang sampai puluhan keluarga yang menyelenggarakan mantenan (mangantani ana') seperti yang di ulas di atas kebiasaan masyarakat giligenting mantenan identik dengan penarikan penarikan (tengka) umpama satu mantenan itu masyarakat harus mengeluarkan materi atau uang sebesar 50 rebu seumpama untuk 10 mantenan sudah 500 ribu tapi bagi yang punyak utang (otang tengka) 500 ribu otomatis yang harur di kembalikan adalah 500 ribu juga kan. Nah untuk dari itu penulis berharap kebiasaan kebiasaan atau tradisi seperti ini harus di tindak lanjuti, saya berharap partisipasi masyarakat untuk tidak melaksanakan kebiasaan kebiasaan atau praktek praktek yang sangat membebani dan sangat menyengsarakan masyarakat kecil, demikian harap penulis.... yah paling tidak mencari bulan lain selain bulan syawal.

3 komentar:

  1. mata' niko'!
    adat egili tak parlo eobe, se parlo eobe bebetkkhe oreng gili se tambe are tambe rosak.
    termasuk engko' heheheee...

    BalasHapus
  2. bukan merubah adat, Adat adalah seni,cuma bagaimana caranya agar adat dan tradisi itu tidak menjadi beban masyarakat kecil, karena faktanya untuk mengembalikan otang tengka tersebut masyarakat kecil sampai tang taotang.

    BalasHapus
  3. benar kata anda yang harus dirubah adalah watak masyarakat yang kian lama kian rusak moralnya,remaja remaja yang sudah merantau kekota sepertinya sebagaian sudah ikut ikutan gaya hidup masyarakat perkotaan...contohnya kalau sudah di kampung pura pura lupa sama bahasa tanah kelahirannya, dan bahkan kalau di kota mereka malu mengaku dirinya orang giligenting, sungguh ironis dan menyedihkan...

    BalasHapus

Komentar Anda Adalah Bentuk Kepedulian Terhadap Kami....
Terima Kasih

GILIGENTING POLO RADDIN

Silahkan Baca Juga